Ditulis oleh: Yaumal Agit Wedana
Seiring berjalannya waktu, penggunaan dan kebutuhan manusia terhadap bahan bakar fosil semakin meningkat, yang menjadi penyebab utamanya karena semakin banyak kegiatan-kegiatan yang mengandalkan kemampuan mesin dalam perkerjaan sehari-hari. Di mana pada dasarnya mesin-mesin tersebut membutuhkan bahan bakar untuk bekerja, salah satu bahan bakar yang paling lazim digunakan dalam dunia industri adalah batubara. Oleh karena itu diperlukan suatu bahan bakar alternatif yang dapat menggantikan peran bahan bakar batubara sebagai solusi untuk mengatasi langkanya bahan bakar dan juga untuk mencegah punahnya batubara.
Sebagai contoh, Portugal dan Spanyol akan menutup PLTU Batubara mereka lebih cepat dari yang direncanakan. Sebelumnya Portugal menargetkan untuk menutup pembangkit batubara pada tahun 2030, namun dipercepat menjadi 2023 dan kini dilakukan lebih cepat lagi yaitu pada tahun 2021. Portugal menjadi negara Uni Eropa yang ketiga setelah Austria dan Swedia pada tahun ini. Sementara itu, Belgia adalah negara pertama yang mengakhiri pembangkit batubara pada tahun 2016. Rencana bebas dari batubara ini juga disusul oleh negara lainnya paling lambat di 2025, yaitu Perancis (2022), Slowakia (2023), Inggris (2024), Irlandia (2025), dan Italia (2025). Langkah negara-negara Eropa ini menunjukan bahwa suatu negara dapat membersihkan sistem eneginya lebih cepat ketika berkomitmen untuk membersihkan energi dan beraksi untuk selamatkan iklim.
Bagaimana di Indonesia? Pemerintah sekarang sudah berkomitmen untuk mendorong RUU Energi Terbarukan, namun di sisi lain masih membuka keran untuk industri batubara agar terus bisa menambang lebih lama dan luas lewat revisi UU Batubara. Bukan berarti kita pesimis terhadap konversi energi pembangkit di negara tercinta kita ini, karena sekarang sudah banyak bermunculan dari perusahaan baik itu dari swasta maupun BUMN yang berinisiatif untuk berinovasi mengembangkan energi terbarukan/konversi energi di pembangkit yang mereka miliki.
Saat ini pemerintah tengah mengupayakan adanya terobosan pemanfaatan biomassa guna mengurangi peran batubara yang masih dominan secara nasional dan mendorong capaian target bauran EBT pada tahun 2025. Hingga akhir tahun 2019, bauran EBT mencapai 9,15% dimana 6,2% berasal dari PLT EBT dan 2,95% berasal dari BBN (biodiesel). Sementara pada tahun 2025, bauran EBT ditargetkan 23% dimana PLT EBT ditargetkan memberikan porsi bauran sebesar 13%-15%, PLT Bioenergi 2%-5%, dan BBN 2%-3% (sumber Kementerian ESDM, 2020)
Pengembangan biomassa yang akan dioptimalkan antara lain bersumber dari sampah dan pelet biomassa dari tanaman energi. Pemerintah akan upayakan juga untuk bisa melakukan co-firing dengan biomassa pada pembangkit di PLTU dan semoga bisa mencapai target paling tidak 1-3% di tahun 2025. Secara rinci, kementerian ESDM menguraikan rencana strategis pengembangan percepatan biomassa sebagai sumber energi berkelanjutan antara lain:
- Memperbaiki tata kelola pengusahaan bioenergi termasuk revisi Peraturan terkait Pembelian Tenaga Listrik dari Energi Terbarukan.
- Mendorong peningkatan kapasitas PLT Biomassa (project pipeline) dengan memastikan komitmen pihak-pihak terkait dalam pengembangan PLT Biomasa sesuai RUPTL.
- Mendorong pembangkit Captive Power untuk menjual kelebihan listrik pada PT PLN (Persero) dengan skema Excess Power.
- Melakukan co-firing pelet Biomassa pada existing PLTU.
- Pengembangan PLT Biomassa skala kecil untuk Wilayah Indonesia bagian timur dan 3T secara masif.
- Pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan lahanlahan sub optimal untuk biomassa melalui kerja sama dengan KLHK, K/L terkait dan Pemda.
- Mendorong penggunaan limbah agro industri termasuk replanting perkebunan sawit untuk pembangkit listrik.
- Mendorong produksi dan pengembangan pellet biomassa dan RDF yang bersumber dari sampah dan limbah biomassa untuk energi.
Sebagai informasi, potensi biomassa untuk listrik dapat bersumber antara lain dari kelapa sawit, tebu, karet, kelapa, sekam padi, jagung, singkong, kayu, limbah ternak dan sampah kota, dengan total potensi di seluruh wilayah Indonesia sebesar 31.654 MWe. Kapasitas terpasang PLT Bioenergi saat ini 1.889,8 MW dengan jumlah kapasitas on grid sebesar 206,02 MW dan jumlah kapasitas off grid sebesar 1.683,78 MW.
Terkait dengan biomass co-firing, pemerintah mengharapkan semua pihak dapat mendorong upaya pemanfaatan biomassa melalui co-firing baik pada pembangkit yang dikelola PLN maupun swasta. PLN sudah melakukan trial co-firing pada PLTU miliknya dengan komposisi 1-5% dengan hasil yang memuaskan. Masih ada beberapa hal yang harus dipersiapkan, antara lain kebijakan terkait pemanfaatan co-firing pada eksisting PLTU, SNI untuk pelet biomassa dan pelet sampah, kajian komprehensif, insentif dan kebijakan harga, infrastruktur pendukung, serta tata kelola yang mengatur pengusahaan RDF. Meski demikian, pemerintah optimis program biomassa co-firing ini akan mampu mendukung optimalisasi pemanfaatan biomassa.
Secara nasional kebutuhan listrik akan terus tumbuh dan PT PLN selaku penanggung jawab sampai saat ini belum bisa memenuhi target ideal yang diharapkan, dimana rasio eletrifikasi untuk Jawa Bali sampai dengan tahun 2018 adalah 96.33%. Untuk itu pemerintah membuat program pembangunan ketenagalistrikan 35.000 MW, yang diharapkan semua proses pengadaannya sudah tuntas pada tahun 2019. Sebagian besar pembangkit baru akan berbahan bakar batubara dengan jenis batubara low rank. Kebijakan ini diambil karena sebagian besar cadangan batu bara nasional adalah jenis low rank yaitu sekitar 86.59% dari deposit batubara nasional. Cadangan batubara nasional terbesar low rank yaitu subbituminous dan lignite dengan karakteristik nilai kalor rendah dan sulfur yang tinggi. Di sisi yang lain, menurut Kementerian ESDM cadangan biomass di Indonesia memeliki potensi total 32.6 Gigawatt (GW). Biomassa mengandung sulfur yang jauh lebih sedikit dari kebanyakan batubara. Pemanfaatan biomass dalam skala besar dengan investasi yang besar untuk pembangkit memang belum ada di Indonesia. Ada beberapa pembangkit biomassa dengan skala kecil yang dikelola swasta. Kendala utama pembankit biomassa untuk pembakit skala besar adalah masalah ketersediaan supply raw material biomass. Pemanfaatan biomassa dalam skala besar bisa juga dilakukkan dengan cara co-firing dengan pembangkit batubara existing. Keuntungan yang diperoleh adalah: tidak perlu investasi besar, pemakaian biomass bisa intermittent (menyesuaikan supply biomassa), menurunkan emisi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil.
PT ITS Tekno Sains, perusahaan yang dimiliki Institut teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, merupakan perusahaan yang memiliki unit usaha yang bergerak di bidang jasa konsultan menajemen dan engineering. Saat ini melalui tenaga ahli yang berkompeten di bidang konversi energi, telah melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan untuk melakukan kajian pemanfaatan biomassa sebagai energi alternatif pengganti batubara untuk bahan baku beberapa pembangkit milik PLN dan PJB.
PLTU Paiton merupakan pembangkit berbahan bakar batubara dimana saat ini menggunakan batubara low rank, di mana beberapa batubara yang diperoleh memiliki kandungan sulfur yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemakaian co-firing biomass di PLTU Paiton sangat mungkin dilakukan untuk mengurangi emisi dan kebutuhan batubara di PLTU Paiton. Dalam pelaksanaannya, perlu dilakukan terlebih dahulu kajian feasibility study pemakaian biomassa co-firing di PLTU Paiton terkait dengan aspek teknis, operasional dan finasial. Termasuk juga aspek ketersediaan security supply dari biomass. Diharapkan dengan co-firing bisa didapatkan manfaat pengurangan pemakaian batubara dan penuruanan emisi menuju green power plant.
Beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diketahui sudah mulai memanfaatkan biomassa sebagai substitusi (campuran) batubara. Metode co-firing tersebut memang terus didorong oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam upaya meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan.
Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah/hasil hutan berupa kayu, ini dicampurkan 1 hingga 5 persen. Kedua bahan baku tersebut setelah diolah dalam bentuk pelet (pellet) bisa setara dengan batubara kalori rendah yang digunakan untuk bahan bakan pembangkit. Pemanfaatan pelet ini diharapkan dapat menurunkan penggunaan batubara. Selain itu, pemanfaatan sampah menjadi energi ini juga menjadi alternatif solusi penanganan sampah di daerah. Saat ini, menurut data kementerian ESDM (2020), sampah sebagai bahan baku pelet memiliki volume sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolahan sampah kota, yakni DKI Jakarta (7.000 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari), Surabaya (1.700 ton/hari) Kota Tangerang (1.200 ton/hari), Denpasar dan Badung (1.155 ton/hari). Selanjutnya, ada Depok, Kota dan Kabupaten Bogor (1.500 ton/hari), Makasar (1.000 ton/hari), Bandung (1.630 ton/hari), Surakarta (550 ton/hari), Malang (800 ton/hari), Regional Jogja (440 ton/hari) dan Balikpapan (290 ton/hari).
Nilai kalori pengelolahan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900 – 3.400 Cal/gr. Sementara untuk hasil hutan jenis kayu jika diekuivalensikan dengan besaran listrik yang dihasilkan, total potensi kayu untuk dijadikan jadi pelet kayu (wood pellet) sebesar 1.335 Mega Watt electrical (MWe). Potensi tersebut tersebar di Sumatera (1.212 MWe), Kalimantan (44 MWe), Jawa, Madura dan Bali (14 MWe), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (19 MWe), Sulawesi (21 MWe), Maluku (4 MWe) dan Papua (21 MWe) dengan nilai kalori sebesar 3.300 – 4.400 Cal/gr.
Sementara itu, PT PLN (Persero) yang menginisiasi metode co-firing menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan 1 persen co-firing di PLTU Indonesia, dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari atau 5 juta ton wood pellet ton per tahun, atau ekuivalen dengan 738 ribu ton per tahun pellet sampah. Saat ini, terdapat tiga tipe PLTU yakni, Pulverized Coal (PC), Circulating Fluidized Bed (CFB), dan STOKER. Untuk tipe PC, ada 43 unit dengan total kapasitas 15.620 MW. Total membutuhkan campuran 5 persen biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari. Tipe CFB, ada 38 unit dengan total kapasitas 2.435 MW dan membutuhkan 5 persen biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sementara tipe STOKER, ada 23 unit dengan kapasitas 220 MW dan menggunakan 100 persen biomassa atau setara 5.088 ton per hari.
PLN bekerjasama dengan PT ITS Tekno Sains telah malakukan kajian uji kelayakan dengan mengujicobakan co-firing. Salah satunya di PLTU Jeranjang, Nusa Tenggara Barat, melalui Indonesia Power. Sementara anak perusahaan PLN lainnya, Pembangkitan Jawa Bali (PJB), telah menguji co-firing di lima lokasi, yakni PLTU Paiton, PLTU Indramayu, PLTU Ketapang, PLTU Tenayan dan PLTU Rembang.